Artikel ini telah dibaca 738 kali. Terima kasih.

Virus Corona 2019-nCoV telah menginfeksi ribuan orang dan menyebabkan ratusan orang meninggal sejak diumumkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 9 September 2020. Virus ini merupakan varian ketujuh dari keluarga virus corona yang bisa menginfeksi manusia.

Virus corona sendiri dikenal dalam empat varian, alfa, beta, gama, dan delta. Namun, hanya varian alfa dan beta yang bisa menginfeksi manusia. Sebagian virus corona varian beta sendiri punya efek paling mematikan bagi individu yang terinfeksi. Wabah virus corona Varian 2019-nCoV bermula di China, masuk dalam varian virus corona beta ini. Berdasarkan tipe virus, para ahli memperkirakan 2019-nCoV punya kemiripan dengan virus corona yang ada di kelelawar. Sehingga, diprediksi sumber infeksi virus ini berasal dari binatang itu. 

Kasus virus corona terkait kelelawar bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya pada 2013, ahli mikrobiologi Ali Mohamed Zaki sempat menemukan virus corona yang punya kaitan dengan hewan mamalia itu, hCoV-EMC. Ini adalah jenis virus corona yang menyerang manusia dan muncul di kawasan Timur Tengah pada 2012. Saat itu, Zaki sedang bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Dr. Soliman Fakeeh, Arab Saudi, pada September 2012.

Melansir The Guardian, Ali diminta oleh seorang dokter untuk mengidentifikasi virus di dalam tubuh seorang pasien berusia 60 tahun yang tengah dirawat karena mengalami pneumonia parah di RS Dr. Soliman Fakeeh, Juni 2012.

Dalam tes laboratorium pertama kali, Ali gagal mengidentifikasi virus tersebut. Sehingga, dia mengirim sampel virus yang dimilikinya ke laboratorium virologi Erasmus Medical Centre di Rotterdam, Belanda.

Sambil menunggu hasil EMC memeriksa, Ali mencoba kembali tes laboratorium terhadap virus itu dan hasilnya positif. Penelitian menyebut bahwa pasien terinfeksi patogen yang disebut virus Corona, sejenis SARS.

Mengetahui hal itu, Zaki lantas mengirim email ke EMC untuk mengumumkan bawah ada sebuah virus bernama Corona yang belum pernah diketahui sebelumnya. 

Zaki juga mengunggah temuannya di proMED, sistem pelaporan internet yang dirancang untuk secara cepat berbagi rincian penyakit menular dan wabah untuk mengingatkan ilmuan lain.

Namun, langkah yang dilakukan oleh Zaki dianggap merugikan pemerintah Arab Saudi. Zaki dipecat dari RS tempatnya bekerja karena intervensi Kementerian Kesehatan Arab Saudi.

“Mereka tidak suka ini muncul di proMED. Mereka memaksa rumah sakit untuk mengakhiri kontrak saya. Saya terpaksa meninggalkan pekerjaan saya karena ini, tetapi itu adalah tugas saya. Ini adalah virus yang serius,” kata Zaki.

Pemecatan Zaki berdampak terhadap pasien yang diambil sampel dahaknya untuk diteliti. Pasien itu meninggal 11 hari kemudian akibat gangguan pernapasan hingga kerja ginjal dan organ lainnya.

Zaki sekarang bekerja di universitas Ain Shams di Kairo. Dalam beberapa minggu ke depan, dia berencana untuk memeriksa sampel darah dari pasien di salah satu rumah sakit untuk melihat apakah ada infeksi yang tidak diketahui atau tidak dilaporkan.

Dia mendukung keputusannya untuk mengumumkan situasi bahaya kepada dunia, meskipun ada keberatan dari pejabat kesehatan Saudi. “Aku tidak yakin pada saat itu apa yang sedang terjadi. Aku tidak tahu apa yang ada di tanganku,” kata Zaki.

Lebih lanjut, virus Corona meningkat sejak virus terungkap pada September 2019. Arab Saudi menyebut ada 15 orang yang terjangkit Corona di mana satu di antaranya meninggal pekan ini.

Jumlah kasus di Arab Saudi memang belum mengkhawatirkan. Namun, fakta virus Corona yang menyebar ke berbagai wilayah memicu adanya kemungkinan terburuk.

“Kami tidak tahu apakah virus ini memiliki kemampuan untuk memicu epidemi penuh. Kami benar-benar dalam kegelapan tentang hal itu,” kata Ron Fouchier, seorang ahli virologi molekuler EMC.

Melansir Nature, otoritas Arab Saudi mengklaim Zaki melakukan penelitian ilegal, termasuk saat mengirim sampel virus ke Belanda. Wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, Ziad Memish menegaskan bahwa prosedur nasional mewajibkan untuk melaporkan potensi patogen baru.

Dia juga menekankan bahwa di bawah Peraturan Kesehatan Internasional WHO memerintahkan semua negara anggota harus melaporkan kepada organisasi setiap kasus penyakit parah yang tidak biasa dan tidak teridentifikasi yang dapat menjadi perhatian internasional.

Terkait hal itu, Zaki mengklaim telah mematuhi prosedur dengan mengirimkan sampel virus dan data klinis terkait ke Kemenkes Saudi pada 18 Juni 2019. Namun, dia menyebut kementerian tidak cukup menindaklanjutinya karena alasan sampel dikirim tanpa bendera merah yang memadai.

Zaki menambahkan dirinya berhak hanya memberi tahu pihak berwenang tentang perkembangan selanjutnya lewat ProMED.

“Tanggung jawab saya berhenti mengirim sampel dan memberi mereka data klinis, dan merekalah yang kemudian harus memutuskan apa yang harus dilakukan,” katanya.

Artikel Asli

Artikel ini telah dibaca 738 kali. Terima kasih.