Artikel ini telah dibaca 14107 kali. Terima kasih.
Tiba-2 bulan juli ini sudah genap lima tahun saya bekerja. Coba tengok npk di atas? Betul,kan? *smile* saya tidak akan mengilas balik 5 tahun yg sudah berjalan. Terlalu panjang… tapi setidaknya kira-2 saya sudah dapat gambaran secara utuh ttg tempat dan lingkungan kerja saya seperti apa. saya cuman mau kilas balikan hal yg terkait dengan bunka saja. Khususnya evolusi bunka di perusahaan kita.
Bunka (文(ぶん)化(か)) dalam dalam bahasa indonesia artinya budaya. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” di Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Di perusahaan kita pun, terjadi dimana ada orang-2 jepang yg sulit memahami budaya kerja kita. Ada yg patah arang dalam memahaminya, ada yg let it be (egp) dan ada pula yang mencoba memaksakan budayanya ke dalam budaya kita.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain. Setidaknya ada 4 tingkan (peradaban) budaya yg dapat dijadikan untuk meramal perilaku individu atau masyarakat. Yaitu tingkatan budaya fisik, simbolik, teoritis dan filosofis. Contoh-2 dari tingkatan-2 budaya ini sbb.
Budaya Fisik – Level 1
Kita bisa antri dengan baik dan tertib untuk menyaksikan sebuah atraksi yg sangat menarik di dufan karena adanya pagar-2 pembatas yg mengarahkan atau mengatur kita berdiri dan berbaris. Coba pikirin, seandainya pagar-2 pembatas itu tidak ada ada. Apakah kita juga bisa berbaris dengan baik dan tertib? Kemungkinan hal tsb tidak akan terjadi. Serondol-2an, saling serobot, hingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi adu jotos karena semuanya ingin duluan. Bila kondisi ini betul-2 terjadi, maka budaya yg kita miliki adalah masih budaya fisik. Artinya, kalo tidak dipagari, kalo tidak dipasangi polisi tidur, kalo tidak dipasangi portal, kalo tidak ditunggui manager dsj, kita semua tidak bisa mematuhi aturan-2, himbauan-2 dsb dengan baik dan benar.
Efek negatif dari budaya fisik ini salah satunya menyebabkan meningkatnya biaya pembangun yg seharusnya tidak perlu. Satu contoh saja. Coba hitung ada berapa juta polisi tidur yg ada di seluruh jalan-2 negeri ini. bila biaya utk membuat polisi tidur tadi Rp. 1 jt, bisa kita bayangkan betapa beasrnya dana pembangunan polisi tidur ini. ya, kan? Budaya fisik ini budaya paling boros ros. Titik.
Budaya Simbolik – Level 2
Nyambung dengan contoh-2 di atas. Pada tataran budaya simbolik, maka orang-2 yg bisa mengantri dengan baik meskipun tidak ada pagar. Mereka mengantri karena membaca ada tulisan “HARAP ANTRI”. Atau mereka tidak merokok karena di ruangan tunggu itu ada rambu rokok dicoret. Atau juga mereka tidak menggunakan HP di rumah sakit karena melihat ada rambu hp dicoret. Dsb. Inilah budaya simbolik. Cukup diberikan simbol-2 maka masyarakatnya sudah bisa mengikutinya. Budaya pada tingkat simbolik ini lebih baik daripada budaya fisik. Budaya simbolik lebih hemat ketimbang budaya fisik. Cukup diberikan rambu dilarang ngebut, maksimum 20km/jam dsj, masyarakatnya sudah bisa mematuhinya.
Budaya Teoritis – Level 3
Mengambil dari salah satu contoh di atas, pada budaya simbolik orang tidak merokok dalam sebuah ruangan ber-ac karena di dalam ruangan terebut terdapat gambar rambu dicoret. Tetapi pada budaya level 3 ini, ada atau tidak rambu tsb, orang tidak merokok karena dia mengetahui betul secara teori merokok dapat menimbulkan efek yang negatif pada kesehatan fisik si perokok. Karena alasan teoritis inilah ada orang yang tidak merokok. Bila dalam sebuah masyarakat banyak diisi oleh orang-2 seperti ini maka budaya masyarakat tersebut berada pada budaya level 3. Ia jauh lebih baik dari kedua budaya sebelummnya. Tidak diperlukan simbol-2, kondisi masyarakatnya terbiasa mengedepankan alasan-2 yg logis berdasarkan teori-2 dll. Fokus pada budaya teoritis ini lebih kepada keuntungan individu yg bersangkutan. Mereka tidak akan melakukan perbuatan-2 yg dapat merusak diri atau menyebabkan dirinya berada pada kondisi yang merugikan.
Budaya Filosofis – Level 4
Bila pada budaya level 3 fokusnya adalah keuntungan untuk diri, maka mada budaya filosofis ini, orang tidak merokok bukan semata-2 karena faktor kesehatan yg diketahuinya secara teoritis semata. Tapi juga dikarenakan karena dia tidak ingin memberikan dampak negatif ke pada orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Ia selalu memikirkan efek negatif dari setiap aktifitas yang akan dilakukannya terhadap orang lain dan lingkungannya. Ia tidak merokok karena selain tidak baik untuk kesehatannya, tapi juga mengkhawatirkan asap yang dihasilkan dari rokok dihirup oleh orang yang berada disekitarnya, atau ia khawatir asap-2 tadi akan mempercepat pemanasan global (global warming) yg akan memperburuk kondisi udara bumi.
Budaya filosofis ini adalah budaya tertinggi dalam sebuah masyarakat. Karena tatanan masyarakatnya tersusun atas norma-2 positif yg baku yg disekapati secara bersama. Masyarakat pada budaya level 4 ini selalu berusaha untuk tidak merugikan diri, orang lain dan lingkungannya.
Jepang adalah salah satu negara yg sudah berada pada tingkatan budaya filosofis. Masih ingat tulisan saya ttg cerita seorang pemuda yg bernama Arakawa yg mungutin sampah-2 yg berserakan di sebuah stasiun kereta tanpa ada yg menyuruh dan membayarnya? Atau orang yg membersihkan kotoran anjing peliharaannya dengan memungut, menyimpan, membawa dan membuangnya di toilet rumahnya sendiri. Dunia dikejutkan dengan sikap sabar dan disiplin yg ditunjukkan oleh masyarakat jepang yg terkena mushibah tsunami di fukushima. Mereka tidak mengeluh. Mereka tidak saling menyalahkan. Mereka tidak saling berebut bantuan. Mereka antri satu persatu dengan rapi di tempat tanpa pagar-2 atau simbol-2 dengan menunggu gilirannya. Sebuah pemandangan yg membuat dunia kagum. Inilah contoh budaya tertinggi sebuah masyarakat.
Mastuura san (seorang presdir) sedang berusaha membawa budaya filosofis ke dalam perusahaan jepang yg mayoritas pekerjanya adalah orang indonesia. Dia fokus bagaimana harus mengajarkan gimana caranya buang sampah makanan dan puntung rokok yg benar. Setiap penjelasannya selalu disertai dengan alasan esensi dasar atas sebuah instruksi yg harus dipahami oleh kita-2 orang indonesia. Meskipun dia seorang pimpinan tertinggi, dia tidak menggunakan bahasa “pokoknya” dalam setiap-2 instruksi dan edukasi yg diberikan agar betul-2 bisa dipahami dengan baik.
Budaya yang dibawanya tinggi, sementara kondisi saat ini tingkatan budaya masyarakat kita masih mengerucut secara mayoritas di budaya tingkat 1, budaya fisik. Tentunya bukan sebuah pekerjaan yg sangat mudah. Lantas apa yg harus kita lakukan supaya kita bisa mencapai naik ke budaya filosofis, budaya tertinggi itu? Tunggu tanggal mainnya… (kalo inget dan ada waktu) he…he…he…
Artikel ini telah dibaca 14107 kali. Terima kasih.
Terima kasih atas artikelnya yg sangat bermanfaat. Ditunggu artikel2 lainnya…