Artikel ini telah dibaca 4662 kali. Terima kasih.
ߒKarena Detik-Detik Terakhir Kehidupan Begitu Berharga
Saudaraku
Salafush Shaleh telah menorehkan contoh-contoh yang mengagumkan dalam memanfaatkan detik-detik umur dan setiap hembusan nafas untuk amal kebajikan. Bahkan semangat mereka tetap terjaga sampai detik-detik terakhir kehidupan mereka. Saat kematian telah berada diatas kepala mereka dengan segala kesulitannya. Sakratul maut telah membuat hembusan nafas mereka tersengal-sengal dan dada mereka terasa sesak. Namun semangat mereka memanfaatkan detik-detik terakhir kehidupan meraka tetap terjaga dan semangat menuntut ilmu meraka tetap membara. Berkali-kali meraka pingsan, tidak sadarkan diri.
Namun pada saat sadar mereka masih sempat menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu untuk dimengerti dirinya sendiri atau dijelaskan kepada orang lain. Padahal ia berada dalam keadaan siap dicabut nafasnya oleh malaikat kematian. Mari kita telusuri kisah indah meraka.
-Ibrahim ibn al Jarrah bercerita: Saat Imam Abu Yusuf Al-Qadli rahimahullah sakit, saya datang menjenguknya. Saya mendapatinya sedang pingsan. Ketika sadar dia bertanya, Apa pendapatmu tentang masalah ini? Saya jawab, Apakah dalam keadaan seperti ini engkau masih menanyakan masalah itu? Dia menjawab, Tidak apa-apa kita mempelajarinya, semoga dengannya ada orang yang terselamatkan.
Kemudian dia bertanya, Wahai Ibrahim, mana posisi yang paling baik saat melempar jumrah, dengan berjalan kaki atau menaiki kendaraan? Saya jawab, Menaiki kendaraan! Dia berkata, Engkau salah! Saya kemudian mengatakan, jalan kaki! Dia berkata lagi, Engkau juga salah! Lalu saya ganti bertanya, Lalu mana yang lebih baik? Dia menjawab, Bagi yang berdiri lebih dekat maka lebih baik melempar sambil berjalan kaki. Namun bagi yang berdiri jauh dari jumrah maka lebih baik melempar sambil menunggang kuda.
Lalu saya beranjak dari sisinya, belum sampai dipintu kamarnya, saya mendengar tangisan menangisinya. Dia telah meningal. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya.
(Al-Jawahir Al Mudhiyah fi Thabaqatil Hanafiyah, Al Quraisy, juz 5)
-Abur Raihan al-Biruni (362-440 H), seorang ahli ilmu falak, ilmu eksakta, ahli sejarah dan menguasai lima bahasa yaitu bahasa Arab, Suryani, Sanskerta, Persia, dan India. Dia adalah sosok yang tekun dengan dunia keilmuan dan penulisan buku. Dia membuka bab-babnya, mencari serius semua yang samar dan yang jelas. Hampir-hampir pena tak pernah lepas dari tangannya. Kesibukannya adalah ilmu. Saat detik-detik terakhir hidup beliau, tetap mempelajari masalah faraidh (waris).
Al-Faqih Abul Hasan Ali Bin Isa berkata: Saya menemui Abur Raihan Al-Biruni saat tengah sakratul maut dengan nafas-nafas tersengal dan dada sesak. Dalam keadaan seperti itu ia masih sempat bertanya kepada saya, Bagaimana menurutmu tentang perhitungan nenek yang tidak berhak mendapatkan warisan?
Karena kasihan kepadanya, maka saya balik bertanya, Apakah dalam keadaan seperti ini engkau harus bertanya padaku mengenai hal itu? Ia menjawab, Bagaimana ini. Aku akan meninggalkan dunia, dan harus mengerti masalah itu. Bukankah itu jauh lebih baik dari pada aku harus meninggalkannya dan tidak pernah mengerti?
Maka saya pun mengatakan hal itu kepadanya, dan dia langsung memahaminya. Dia juga balik mengajarkan apa yang pernah ia janjikan. Setelah itu saya keluar dan tiba-tiba saja terdengar suara tangis dari arah rumahnya. Ternyata beliau telah meninggal. Sungguh semangat hidup yang mengikis semua rasa takut.
Saudaraku.
Memang demikianlah keadaan mereka. Semangat yang patut diteladani dalam memanfaatkan detik-detik terakhir kehidupan dan gairah menuntut ilmu yang tidak padam karena kepayahan dan kesulitan sakratul maut. Dimanakah posisi kita dibandingkan meraka, saudaraku? Alangkah mulianya mereka. Alangkah tingginya semangat mereka menjaga waktu hingga detik-detik terakhir kehidupan mereka masih sempat dimanfaatkan untuk hal-hal kebaikan.
Saudaraku
Sikap dan semangat mereka ini disaat kritis kehidupan meraka itu tentu tidak timbul begitu saja. Ini adalah proses pembinaan dan penjagaan terhadap waktu dimasa-masa hidupnya, yang terus mereka pelihara sepanjang kehidupan mereka.
Mereka telah memanfaatkan detik-detik umurnya dalam ketaatan kepada Rabb-nya dan menggunakan hitungan usianya dalam perkara-perkara yang diridahi oleh Allah. Maka Allah menolongnya dan memberinya taufik, serta menjaganya disaat kritis dan duka ini, yaitu saat detik-detik terakhir kehidupan meraka.
Maka saudaraku
Mari tanamkan keyakinan dalam jiwa kita dengan kuat bahwa barangsiapa yang memanfaatkan detik-detik usia dan setiap helaan nafasnya dalam rangka taat kepada Allah maka Allah akan memberi penjagaan dan keteguhan saat detik-detik terakhir hidupnya, yakni saat-saat duka yang paling besar, sakratul maut. Karena siapa yang menjaga Allah dalam saat suka, maka Allah akan menjaganya dan memberi keteguhan serta khusnul khatimah pada saat kematiannya. Mari kita tengok dan baca contoh-contoh yang cemerlang dan akhir kehidupan orang-orang shalih yang menjaga waktunya:
-Imam Ahmad Al Hambali menyebutkan bahwa Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah adalah orang yang selalu memperbanyak zikir kepada Allah Taala. Hingga ia meninggal dalam keadaan bertasbih yang dia hitung dengan jarinya. (Syadzarat Adz-Dzahab, Ibnul Al Hambali, juz 5).
-Al- Amasy, ahli hadist; ditangisi anak-anaknya ketika ajalnya hamper menjemput. Ia pun berkata, Janganlah kalian menangisiku! Demi Allah, selama 60 tahun lamanya aku tidak pernah ketinggalan takbiratul ihram bersama imam.
-AlJariri berkata: Saya berada dikepala Junaid ketika menjelang kematiannya.Pada Saat itu dia sedang membaca Al-Quran dan saya bertanya kepadanya, Kasihanilah dirimu. (yakni, jangan engkau memberatkan dirimu dengan membaca Al-Quran pada saat ajal menjemput). Dia menjawab, Apakah ada orang yang lebih membutuhkan pahala dariku pada saat seperti ini, dan inilah diriku. Buku catatan amalku hamper ditutup. Al-jariri berkata, Junaid telah mengkhatamkan Al-Quran, dia kemudian memulai lagi dengan surat Al-Baqarah dan telah membaca tujuh puluh ayat, kemudian dia wafat. (Thabaqat Asy-Syafiiyah, As-Subki, juz 4).
-Imam Abu Ishak An-Naisaburi rahimahullah sedang menghadapi ajalnya. Sepanjang hari ia berpuasa. Dia berkata kepada anaknya, Buka kelambu, kemudian dia berkata lagi, Saya haus. Lalu anaknya membawakan air untuknya. Abu Ishak berkata, Apakah matahari telah terbenam? Anaknya menjawab, Belum. Maka Abu Ishak mengembalikan air tersebut, lalu dia berkata, Untuk seperti inilah hendaknya orang-orang beramal. Kemudian ruhnya pergi kepada Tuhannya. (Tarikh Baghdad, Al-Khatib Al-Baghdadi, juz 6).
-Seorang hamba yang shalih, Amir Bin Abdul Qais rahimahullah sedang dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian. Kesulitan-kesulitan dan sakratul maut pun telah turun kepadanya. Lalu dia mendengar adzan shalat magrib maka Amir meminta orang-orang disekelilingnya untuk membawanya ke mesjid agar bisa melaksanakan shalat berjamaah. Ketika dia shalat di bealakang imam dan bersujud pada rakaat pertama, Allah memanggilnya, sementara ia dalam keadaan sujud. (Siyar Alamin Nubala, 5/22)
Saudaraku..
Betapa mulia dan indahnya penghujung hidup orang-orang yang shaleh yang senantiasa menjaga waktunya untuk ketaatan kepada Allah. Berbahagialah hamba-hamba yang shaleh ini, mereka diwafatkan dalam keadaan keadaan berzikir, memelihara shalat dan waktu-waktu shalat, dalam keadaan berpuasa, ketika membaca Al-Quran, bahkan ketika sujud saat-saat terdekat dirinya kepada Sang Khalik. Mereka telah mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan cara melakuklan amal-amal shaleh dan taubatan nasuha dari waktu ke waktu.
Maka saudaraku
Apakah kita tidak merindukan akhir hidup seperti mereka ini? Jika ya, mari kita maksimalkan setiap hembusan nafas dan detik-detik usia kita dalam ketaatan kepada Allah. Bersegeralah melakukan kebaikan, mari bangkit. Mari kita perbanyak membaca Al-Quran, pelihara shalat dengan berjamaah, tepat waktu dan khusyu. Senantiasa berzikir kepada Allah dalam setiap kesempatan, baik dalam kedaan duduk, berdiri ataupun berbaring. Mudah-mudahan Allah mewafatkan kita saat melakukan amal-amal baik tersebut. Amin.
Catatan Ahmad Khan- Inspirated by: Khams Wa Isyrun Wa Miah Li Hifdzil Waqti, ustadz Abu Qaqa Muhammad; Latahzan, Aidh Al-Qarni.
Artikel ini telah dibaca 4662 kali. Terima kasih.