Artikel ini telah dibaca 26332 kali. Terima kasih.
Sejak MoU 2012 ditandatangni oleh Kemenkes dan Inventor (Edwar Technology) apa yang sudah dilakukan oleh Pemenrintah (Kemenkes dan Kemenristekdikti) untuk menjadikan temuan ini menjadi sebuah produk yang dapat digunakan secara legal oleh masyarakat (para pasien yang mendapatkan anugrah kanker secara khusus) Indonesia secara luas? Tidak ada satu penjelasan pun ke publik terkait hal ini. Atau mungkin saya yang telewatkan…
Tiba-tiba saja tanggal 2-12-2015 Kemenkes memaksakan penutupan klinik riset yang sudah berjalan sejak MoU 2012 disepakati. Alasan utamanya (?) ECCT belum diuji secara klinis sehingga menurut Kemenkes belum bisa disimpulkan kebermanfaatannya untuk terapi kanker. Kalau memang hal tersebut dijadikan alasan utama penutupan klinik riset Warsito, mengapa butuh waktu 3 tahun untuk memaksanya ditutup? Mengapa baru ditudup setelah ribuan pasien kanker menggunakan ECCT? Apakah selama masa 3 tahun Pemerintah sudah melakukan tahapan-tahapan baku yang dinginkan agar ECCT dapat lulus uji klinis sehingga akhirnya punya kesimpulan atas penutupan itu?
Saya hanya mengkhawatirkan bila alasan-alasan di atas sebenarnya bukanlah alasan yang sesungguhnya atas penutupan dari klinik riset kanker Warsito yang sudah berjalan sejak MoU 2012. Kalau alasannya bukan itu, maka apa yang sekarang akan dijalankan oleh Pemerintah dengan menunjuk delapan rumah sakit yang akan melakukan penelitian lanjutan ECCT akan berakhir sia-sia, meskipun hasilnya nanti bagus (bermanfaat,sesuai kaidah medis dll). Tentunya kita semua berharap pemerintah akan serius melakukannya. Bukan sekedar php…
Tapi bagaimana pun, inventor memiliki hak untuk melakukan dan melanjutkan pengembangan hingga penyempurnaan temuannya di mana saja. Di luar negeri sekali pun… Yang penting temuan tesersebut dapat bermanfaat untuk umat manusia yang membutuhkannya. Tanpa harus terbebani dengan rasa nasionalisme dan sejenisnya. Saya sangat mendukung bila kemudian Jepang (atau negara lainnya) memberikan kesempatan untuk itu. Pembuatan alat dan implementasi di luar negeri bisa dijadikan bahan pertimbangan pemerintah Indonesia nantinya bila sudah siap. Dan semoga dapat segera digunakan kembali di tanah air…
Selasa, 08 Maret 2016, 12:02 WIB
Warsito Pertimbangkan Tawaran Kebebasan Meneliti dari Jepang
Red: Ani Nursalikah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penemu alat terapi kanker Electrical Capacitive Cancer Therapy (ECCT) Dr Warsito Purwo Taruno mengatakan Jepang yang terdiri atas universitas, rumah sakit dan dokter menawarkan kebebasan dalam melakukan penelitian.
“Pihak Jepang mengajak untuk bersama-sama mengembangkan ECCT,” ujar Warsito saat dihubungi, Selasa (8/3).
Dia juga menambahkan Jepang juga sudah mengetahui sulitnya situasi untuk melakukan penelitian di Indonesia, karena itu mereka akan memberikan kebebasan pada Warsito untuk berkreasi. “Rasanya ingin menangis membaca tawaran dari Jepang, ‘ayolah bersama-sama berkreasi secara bebas (di Jepang)’,” tambah dia.
Warsito sendiri sesungguhnya ingin melakukan penelitian dan produksi massal alat terapi kanker itu di Tanah Air, serta kerja sama pemanfaatan dan aplikasi di negara-negara lain. “Kenyataannya saat ini mandek semuanya, sudah tiga bulan dan tak tentu kelanjutannya, mana yang duluan datang ada kepastian atau nafas kita berhenti duluan,” keluh dia.
Jika tak ada kepastian dari pemerintah, lanjut Warsito, ia terpaksa mengambil tawaran kerja sama dari Jepang tersebut eskipun dengan konsekuensi alat terapi itu diproduksi massal di luar negeri.
“Harganya pasti lebih mahal. Apalagi kalau dibuat di Jepang. Mereka bilang satu set Rp 1 miliar pun ada yang mau beli,” katanya.
Di akun jejaring sosialnya, Warsito mengeluhkan tak bersahabatnya kondisi untuk penelitian di Tanah Air. Warsito menulis kerasnya Indonesia bukan pada masalah infrastruktur atau sumber finansial yang terbatas, akan tetapi tidak tahu kepada apa atau siapa sebuah aturan melekat sehingga memang tak ada parameter untuk bisa mengukur dan memprediksinya.
Pengalamannya 12 tahun di Jepang dan tujuh tahun di Amerika pun belum cukup menjadi bekal untuk menghadapi kondisi penelitian Indonesia yang serba tak bisa diprediksi.
Sumber : Antara
Artikel ini telah dibaca 26332 kali. Terima kasih.