Artikel ini telah dibaca 1150 kali. Terima kasih.
Retorika pemimpin untuk membangkitkan semangat berinovasi anak bangsa harus bisa diterjemahkan dan dipahami oleh jajaran di bawahnya agar dapat betul-betul dieksekusi hingga betul-betul diimplementasikan. Agar tidak dipahami sekedar pencitraan kaum beretorika.
Semangat terus pak Warsito Purwo Taruno dan pak Edi Sukur untuk berkontribusi kemanusiaan dengan inovasi-inovasinya dalam peningkatan kualitas hidup para penerima anugrah kanker.
Tetaplah istiqomah… Semoga Allah SWT terus memudahkan segala urusan dunia dan akhirat bapak berdua. Aamiin YRA…
Selamat membaca…
Penantian Warsito dan Retorika Menkes
Bukan tanpa alasan. Kedatangan Takeuchi untuk menjawab rasa penasarannya ihwal alat kesehatan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) dan Electrical Capacitance Cancer Theraphy (ECCT).
“Dokter itu datang dari Tokyo cuma sehari. Pagi datang, kemudian kita workshop sehari, malamnya balik. Cuma untuk mendapatkan penjelasan. Minta dibuatkan di sini, bukan di Jepang. Artinya kualitas kita ada,” kenang Warsito saat berbincang dengan Medcom Files di ruang kerjanya, Kamis, 22 Maret 2018.
Takeuchi merupakan salah satu dokter asing yang menemui Warsito secara langsung. Selain dia, ada pula dokter asal Amerika Serikat, Eropa, termasuk Tiongkok.
Tiongkok, kata Warsito, menjadi salah satu negara yang serius menginginkan ilmu yang dimilikinya. Baru-baru ini, salah satu Rumah Sakit di Guangzhou meminta dirinya hadir langsung ke Tiongkok.
“Riset terbaru yang kita berikan. Riset 2015-2017,” ujar biofisikawan bergelar doktor itu.
Warsito royal membagikan hasil riset yang telah lama ia dan timnya lakukan secara intensif. Bahkan hasil riset itu ia bagikan secara cuma-cuma termasuk ke pihak asing.
“Daripada nggak dipakai. Ini untuk kemanusiaan. Daripada nggak diproduksi dan riset ini mati,” kata dia.
Alat canggih terapi kanker itu awalnya muncul dari penelitian Warsito pada 2004. Saat itu dia menetap di Amerika Serikat sebagai peneliti.
Tertarik dengan penelitiannya, salah satu lembaga riset di Amerika Serikat menawarkan kerja sama kepada Warsito. Seorang profesor di lembaga tersebut terpincut dengan ide penggunaan listrik arus lemah untuk mengendalikan sel kanker.
Warsito menerimanya. Bahkan dirinya sempat ditawari untuk menjadi warga negara Amerika Serikat, namun beberapa kali ditolaknya.
Akhirnya, pada 2006, Warsito kembali ke tanah air. Kerjasama pengembangan alat pengendali kanker itu masih berlanjut, hanya saja dikerjakan di Indonesia.
Sayangnya upaya itu tidak berjalan mulus. Sekitar 2008 dan 2009 dia nyaris putus asa, karena faktor pendanaan. Bahkan dia sempat tergiur untuk bekerja di luar negeri dengan melamar dan diterima sebagai profesor di sejumlah negara. Di antaranya Arab Saudi dan Jepang.
“Tapi akhirnya batal karena mikir masih ingin coba di Indonesia,” ucapnya.
Benar saja, pucuk dicinta ulam tiba. Proyeknya bisa berlanjut setelah mendapat dukungan modal dari seorang investor.
Setelah rampung, secara formal alat itu mulai diuji. Bahkan, pada 2012, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Kesehatan ikut terlibat.
Hasilnya, alat kesehatan yang dikembangkan Warsito mendapatkan keterangan lolos kaji etik dari komite etik Balitbang Kemenkes.
Sayangnya, Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Farmalkes) Kemenkes tidak seiring sejalan. Dari sisi tindakan medis, Dirjen Farmalkes menganggap alat kesehatan milik Warsito sulit diterima.
Saat itu Indonesia belum memiliki standar penilaian terhadap Alkes yang dikembangkan Warsito. Alasannya, alat tersebut merupakan penemuan baru, bahkan di dunia.
Perbedaan pandangan inilah yang membuat izin edar alkes buatan Warsito menggantung. Tak kunjung diterbitkan.
Tak hanya itu, cobaan berat kembali menerpa. Imbas perbedaan pandangan tadi menyebabkan klinik dan pusat riset Warsito ditutup oleh pemerintah Indonesia.
Kala itu, sekitar 2015 dan 2016, sosok Warsito mendadak kontroversial. Alat kesehatan yang dikembangkannya dinilai tidak memenuhi standar kelayakan.
“Cuma evaluasi tidak jalan (dari Balitbang Kemenkes),” kata dia.
Puncaknya pada 27 Januari 2016, Warsito mengumpulkan sekitar 150 karyawannya di sebuah gudang. Di sana ia terpaksa mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap 70 persen karyawan.
“Kita membawa misi besar untuk kemanusiaan. Kita tetap harus berjuang, tapi sementara ini kita harus memperbaiki langkah,” kata Warsito kepada karyawannya.
Warsito mengaku sedih membuat keputusan tersebut. Terlebih ketika pasien kanker kembali kehilangan harapan untuk sehat.
“Yang pertama itu menolong ribuan orang yang enggak ada alternatifnya. Dan yang jelas menolong kakak saya yang sampai sekarang masih hidup. Masak diisukan meninggal segala macam,” kata dia.
“Dia itu insinyur. Dia menciptakan alat listrik yang katanya bisa mengendalikan sel kanker. tapi dunia kesehatan itu perlu bukti klinis,” kata Linda saat kami temui di kantor Kemenkes, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2018.
Bagi Linda, saat itu, keputusan menolak dikeluarkannya izin edar untuk Alkes buatan Warsito sudah tepat. Meski disebut-sebut sudah menyembuhkan puluhan atau ratusan pasien, tetap saja bagi Linda itu hanya opini. Masih subjektif, belum teruji secara klinis.
“Pokoknya yang jelas pasien aman, itu nomor satu,” tegasnya.
Warsito mengingatkan potensi Indonesia saat ini bukan lagi terletak pada kekayaan alamnya. Akan tetapi inovasi dan SDM-nya.
Termasuk dalam hal pengembangan industri alat kesehatan dalam negeri. Warsito mendengar bahwa presiden dan jajarannya terus menyuarakan agar inovasi anak bangsa harus ditingkatkan.
Namun dia pesimistis dengan suara-suara motivasi tersebut. Dengan ketus Warsito mengungkapkan alasannya; Indonesia tengah mengidap penyakit inferiority complex alias kehilangan rasa percaya diri.
“Dari Presiden, semangatnya ada. Menkes retorikanya ada. Sekarang benar tidak retorika itu harus diterjemahkan birokratnya. Dan, retorika tidak berarti apa-apa kecuali stempel (pengakuan dari pemerintah terhadap karya anak bangsa),” kata Warsito.
“Cuma kita ragunya, apakah birokrat memahami itu dengan baik, menjalankannya dengan konsisten dengan semangat ingin memajukan alat kesehatan dalam negeri. Semangat itu diperlukan. Selama itu tidak ada, mereka menggunakan intrepretasi sendiri-sendiri, itu tidak akan jalan,” beber dia.
Warsito berharap pemerintah tidak sekadar mengumbar retorika. Akan tetapi, pemerintah harus nyata membela kepentingan dalam negeri.
“Implementasi inovasi sangat rendah. Inovasi kita selama ini masih hidup di dunia riset. Belum nyambung ke pasar. Hilirisasi itu omong kosong, kecuali Kemenkes berani memberikan stempel untuk izin edar terhadap produk yang dibuat dan dikembangkan dalam negeri. Artinya ide awal murni muncul dari dalam negeri,” ucapnya.
Linda pun menimpali, meski kini Kemenkes gencar mendorong inovasi alat kesehatan dan berjanji mendukung penuh pemasarannya, tapi tetap harus melalui pengujian secara klinis terlebih dahulu.
“Kemarin kita keluarkan Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2017) tentang uji klinik alat kesehatan. Jadi berdasarkan pedoman itu, indutsri Alkes yang punya inovasi harus dibuktikan aman,” tuturnya.
Kini, berbasis Inpres dan Permenkes baru tentang Alkes, Warsito mengajukan kembali alat kesehatan buatannya untuk kembali diuji klinik. Linda pun membenarkan. “Sudah kita serahkan ke Balitbang.”
Sementara soal keputusannya nanti, Warsito harap-harap cemas. “Hhh… Sekarang kembali dari awal lagi,” tutup Warsito dengan nada kesal.
(COK)
Sumber: http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/lKYEVOVK-penantian-warsito-dan-retorika-menkes
Artikel ini telah dibaca 1150 kali. Terima kasih.