Artikel ini telah dibaca 890 kali. Terima kasih.

Jepang memang menerapkan standar dan aturan ketat soal investasi. Kendati demikian, Jepang sempat menjadi runner up investor di Indonesia sebelum tergeser oleh Tiongkok. Hal tersebut disampaikan Dosen Universitas Wako Jepang Prof Bambang Rudyanto saat mengisi Kuliah Umum Public Private Partnership (PPP) di Auditorium RM Soemantri, Universitas Dr Soetomo (Unitomo), Surabaya, Jumat (14/2/2020).

Pemerintah Indonesia dinilai memiliki beberapa pertimbangan tersendiri kenapa menggantungkan investasi dari Tiongkok ketimbang Jepang.  Alasannya, menurut Prof Bambang, pemerintah masih membutuhkan bantuan pinjaman cepat namun dengan tenggang waktu pengembalian yang cukup lama. 

Sedangkan Jepang cukup alot soal investasi. Selain menerapkan soft loan dengan bunga 3 persen banyak aspek yang harus diperhatikan salah satunya dari sisi manajemen resiko lingkungan atau EAI.

PPP sendiri merupakan strategi kerjasama antara Jepang dengan pemerintah Indonesia dalam bidang pembangunan infrastruktur sejak 2005 silam. Sebab investasi asing bukan sekedar industri. 

Menurut keterangan Prof Bambang, sumber investasi di Jepang lebih banyak dari pihak swasta dibandingkan pemerintah. Karena Jepang tidak memiliki BUMN. 

“Untuk investasi peran pemerintah di Jepang tidak terlalu berpengaruh,” kata pakar bisnis dan kerjasama internasional Universitas Wako Jepang tersebut. 

Profesor asli Probolinggo, Jawa Timur ini sempat bergelut dengan proyek Japan International Cooperation Agency (JICA) di Jepang. JICA adalah skema pinjaman di bawah Japanese Official Development Assistance (ODA) Loan. Pendanaan berupa bantuan (hibah) dan pinjaman (loan).

Salah satu kerjasama yang pernah terjalin yaitu proyek kereta api cepat antara Bandung dan Jakarta yang kini diteruskan oleh Tiongkok. 

Padahal Negeri Tirai Bambu tesebut tidak bisa menerapkan PPP karena menggantungkan jaminan dari pemerintah. Tiongkok sendiri memiliki struktur pendanaan dari sektor BUMN sama seperti Indonesia. 

“Jepang tidak mau investasi terlalu beresiko. Waktu itu pemerintah Indonesia tidak bisa menjamin,” terang Prof Bambang. 

Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal asing (PMA) dari Tiongkok tumbuh pesat bahkan menempati posisi kedua dengan nilai investasi US$ 4,7 miliar, lebih tinggi dibandingkan posisi tahun lalu hanya US$ 2,4 miliar. Bahkan posisi Tiongkok tahun ini mengungguli nilai investasi Jepang ke Indonesia. 

“Karena periode pengembalian dalam tenggang waktu 40 tahun. Pengembalian mulai tahun ke-11. Keuntungan bagi pemerintah saat ini karena yang mengembalikan adalah presiden berikutnya,” urainya. 

Dr Hendro Wardhono, Ketua Pusat Studi Bencana Unitomo dan pengampu mata kuliah PPP Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Unitomo selaku moderator menambahkan, berkurangnya jumlah investor Jepang merupakan efek dari Tiongkok yang lebih aktif menggelontorkan pendanaan. 

Dengan alasan bunga lebih rendah dan tidak ada faktor yang memberatkan misal seperti evaluasi lingkungan. Pengembalian dalam bentuk mata uang yen dan mata uang China juga berbeda. 

“Biasanya dari China tidak memberatkan masalah lingkungan, kalau Jepang pasti menekankan masalah tadi,” katanya. 

Dengan kata lain Tiongkok lebih agresif berinvestasi dan lebih cepat mengucurkan dana di Indonesia.  “Kalau Jepang perlu waktu,” tandasnya.

Dr Hendro Wardhono menambahkan, PPP di Jepang memiliki karakter berbeda dengan Indonesia. Namun memiliki tujuan sama membangun infrastruktur. Jika budget goverment tidak mencukupi maka akan disupport oleh swasta.  “Di Indonesia sendiri sangat memerlukan kerjasama dengan pemerintah swasta atau PPP. Kalau di Jepang luar biasa, swasta yang berperan aktif,” jelasnya dalam kuliah umum di Unitomo yang turut mendatangkan Mr Saito Hirohisa President Director Eight Global HR.Co.Ltd dan Manager Eight Global Mr Aso Daisuke selaku penyedia pekerjaan penempatan di Jepang.

Artikel Asli

Artikel ini telah dibaca 890 kali. Terima kasih.

Leave a Reply