Artikel ini telah dibaca 627 kali. Terima kasih.
Belakangan ini, sedang hangat dibicarakan mengenai akun media sosial sejumlah aktivis yang diretas. Hal ini terutama banyak dibahas oleh kalangan para pegiat antikorupsi dan hak asasi manusia.
Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, yang menduga kuat ada pihak aparat yang telah memantau aktivitas mereka. Adapun beberapa pihak yang menyebut pemerintah menggunakan alat sadap dengan sebutan “Pegasus”.
Apa itu “Pegasus”?
Alat itu adalah spyware yang dapat memantau dan menyadap orang tanpa terdeteksi. Menurut informasi, perangkat lunak itu dapat diinstall pada perangkat yang menjalankan beberapa versi iOS dan juga Android.
Spyware ini sangat berbahaya bagi para targetnya karena dirancang sedemikian rupa agar tak tercium jejaknya.
Anggota Komisi I Pertahanan dan Intelijen DPR dari PDIP Effendi Muara Sakti Simbolon mengatakan, “Barang itu sudah lama digunakan,” namun menolak untuk membeberkan lembaga negara mana yang menggunakannya.
Effendi mengatakan Pegasus digunakan untuk memata-matai kelompok teroris, seperti pada Operasi Tinombala di Sulawesi Tengah yang berlangsung sejak 2016, dan juga membantu mengejar kelompok bersenjata di Papua.
Buatan Israel
Alat itu dikembangkan oleh perusahaan senjata siber Israel, NSO Group itu. Keberadaannya pertama diketahui pada Agustus 2016 setelah upaya untuk mengunduhnya pada iPhone milik seorang aktivis hak asasi manusia gagal. NSO sendiri baru didirikan pada 2010, di situs resminya mereka mengklaim alatnya itu “hanya digunakan pemerintah yang berwenang guna membantu mereka memerangi teror dan kejahatan”.
Pegasus dapat menembus peranti keamanan smartphone dengan beberapa cara, termasuk modus SMS atau email palsu yang berisi link berisi spyware tersebut. Jika berhasil menyusup, Pegasus dapat memperoleh akses ke kontak, SMS, hingga ke mikrofon dan kamera.
Amnesty International, LSM HAM yang berbasis di London, pada Juni kemarin mengungkapkan laporan terperinci bagaimana alat spyware itu digunakan untuk menargetkan Radi, aktivis anti-korupsi dan HAM asal Maroko, setidaknya tiga kali antara Januari 2019 dan Januari 2020.
Pada akhir 2019, Facebook melayangkan gugatan pada perusahaan pembuat spyware itu, mengklaim bahwa WhatsApp telah digunakan untuk meretas sejumlah aktivis di India, yang mengarah ke tuduhan bahwa pemerintah India juga ikut terlibat.
Menanggapi protes dari berbagai pihak, NSO Group mengatakan bakal menindak secara serius segala bentuk penyalahgunaan alatnya, dan telah merilis kebijakan perlindungan HAM dan privasi. Kebijakan itu mengharuskan pelanggan (pemerintah, badan intelijen, dan pihak lainnya) untuk menggunakan spyware tersebut dengan tujuan membatasi “kejahatan berat” seperti terorisme.
Namun pegiat HAM tak berharap banyak dari kebijakan itu karena pada kenyataannya NSO tidak bisa mengendalikan pemakaian piranti lunak mereka itu.
Menurut Kaspersky, perusahaan anti-virus terkemuka, tidak ada yang dapat menjamin perangkat apapun dapat terbebas dari malware. Tapi cara paling mudah nan efektif untuk mencegah perangkat diretas dan dimata-matai oleh Pegasus atau malware lainnya, adalah dengan secara rutin mengunduh versi terbaru pada sistem operasi dan aplikasi yang ada di smartphone kalian.
Selain itu, jangan mengklik sembarang link tautan yang ada di SMS atau email. Langkah preventif lainnya yang bisa dilakukan adalah memperbarui password pada akun-akun pribadi, serta mengecek jika ada pihak lain yang mengakses email kalian. TipĀ selengkapnya dapat dibaca
LINE TODAY
Artikel ini telah dibaca 627 kali. Terima kasih.