Artikel ini telah dibaca 3540 kali. Terima kasih.

image

Kerja Ikhlas

Di sebuah desa kecil di Madura,ada seorang nenek penjual cendol keliling. Cendolnya khas, racikannya pas, dan menjadi minuman favorit orang-orang di kampung itu. Setiap hari ia menembus terik matahari, menyusuri pematang tembakau, berkeliling dari gang ke gang untuk melayani para pelanggannya. Berangkat pukul sepuluh pagi, pukul satu siang cendolnya sudah habis terbeli.

Suatu hari menjelang Pemilu, rombongan Bupati hendak melakukan kunjungan kerja ke desa tersebut. Tokoh masyarakat pun bersiap menyambut tetamu terhormat itu. Mereka bermaksud menyuguhkan hidangan istimewa. Salah seorang kiai terpandang yang turut sibuk sebagai tuan rumah teringat cendol favorit sang nenek. Cocok untuk suguhan minuman khas kampung itu.

Maka, pas pukul sepuluh, pak kiai sendiri langsung menemui sang nenek di sudut jalan yang biasa dilaluinya.

“Assalamualaikum. Bu, mimpi apa semalem?” sapa pak kiai.

“Waalaikum salam. Eh, Pak Kiai, memang ada apa, Pak Kiai?”

“Hari ini Ibu tak usah capek-capek keliling. Cendol Ibu kami beli semuanya!”

“Wah, jangan, Pak. Mohon cendol saya jangan dibeli semua.”

“Lho kenapa? Seharusnya Ibu bersyukur, dong? Selain tidak perlu capek-capek berkeliling kampung, kami beli dengan harga lebih. Ini rezeki nomplok namanya, tak iye?” rayu sang kiai.

“Ya, saya senang cendol saya laku, tapi saya sedih memikirkan pelanggan saya yang sudah menanti saya di pinggir ladang, tukang-tukang bangunan, dan anak-anak kecil yang haus sehabis bermain di dekat rumah mereka. Saya berkeliling demi mereka.”

Mendengar jawaban sang nenek, kiai itu terkesiap dan sadar, siapa yang hatinya lebih “kiai” dalam hal ini. Ia dapat pelajaran tentang kerja ikhlas. Tak semua orang berdagang semata demi uang. Kerja profesional sehingga cendolnya jadi minuman favorit bisa dipadukan dengan aktivitas spiritual: ketulusan mengabdi.

Ikhlas sering disalahartikan sebagai “ala kadarnya” dalam bekerja, lemah, dan tidak memiliki karakter determinatif. Dalam pengertian dasarnya, ikhlas itu tidak lain adalah menyandarkan seluruh aktivitasnya karena Allah semata. Ikhlas berada di ranah emosi dan transendensi (emotional and transcendental domain). Bagi mereka, yang penting bekerja dengan baik (yang sifatnya subjektif), orang lain menilainya baik ya Alhamdulillah, menilainya tidak baik pun tetap Alhamdulillah. Yang menjadi orientasinya adalah apa yang dilakukan sesuai dengan garis yang diyakini akan kebenarannya dan Tuhan Yang Maha Esa berkenan menerimanya. Apresiasi, baik yang bendawi (tangible) maupun nonbendawi (intangible), bukanlah tujuan yang dicarinya, akan tetapi kalau menerima apresiasi akan diposisikan sebagai konsekuensi. Yang menjadi tujuannya bukan apresiasi melainkan keridaan Tuhan melalui bekerja dengan baik.

Bahkan, Imam Malik memberikan pelajaran sangat berharga bagi kita tentang ikhlas: salah satu kebiasaan Imam Malik selalu membawa sapu tangan ke mana-mana. Untuk apa? Ternyata untuk landasan di saat sujud supaya tidak berbekas di dahinya; beliau khawatir keikhlasannya yang semata-mata karena Allah terganggu dengan “pandangan dan penilaian” manusia, gara-gara di dahinya tampak bekas sujud. Min atsaris sujud bukanlah tanda bekas fisik akibat sujud. Tanda min atsaris sujud adalah semakin dekatnya kita kepada Yang Mahakuasa dan semakin bermanfaatnya kita bagi sesama.

Mohammad NUH
Mantan Menkominfo & Mendiknas Kabinet Bersatu SBY

Artikel ini telah dibaca 3540 kali. Terima kasih.

Leave a Reply