Artikel ini telah dibaca 3353 kali. Terima kasih.

Fithrafaisal_200x200Pengamat ekonomi yang juga Dosen Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, Selasa (11/8) , mengingatkan pentingnya pemerintah mengkaji porto folio semua calon investor asing secara menyeluruh, utamanya yang berminat membiayai pembangunan infrastruktur di Indonesia. Di era regional cooperation seperti saat ini, sangat penting bagi pemerintah untuk memperbesar variasi investor dan menghindari untuk terlalu dominan bergantung pada satu pihak saja.

“Jangan gegabah meninggalkan partner tradisional kita semisal Jepang dan Amerika Serikat. Kalau kita lihat dari data BKPM, realisasi investasi Tiongkok masih sangat rendah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat,” kata Fithra, kepada Nusantara Maritime News.

Sebagai gambaran, lanjutnya, dari sepuluh komitmen investasi yang berasal dari Tiongkok, baru satu yang terealisasi. Sementara dari sepuluh komitmen investasi Jepang, sudah ada tujuh yang terealisasi. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut, realisasi investasi Tiongkok di Indonesia pada kuartal kedua tahun ini masih yang terendah dibandingkan investor asing lainnya, yaitu hanya berkisar 7 hingga 10%. Pencapaian tersebut kalah jauh dibandingkan realisasi investasi Jepang (65%) dan Taiwan (34%).

Data tersebut seharusnya membuat pemerintah lebih teliti dalam memillih mitra, apalagi yang terkait dengan komitmen jangka panjang seperti pembangunan infrastruktur. Jepang telah membuktikan pengalamannya terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia, baik melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) maupun Japan International Cooperation Agency (JICA).

Fithra melihat, dalam hal merealisasikan komitmen investasi, Jepang memang lebih komperehensif sehingga membutuhkan proses dan waktu lebih lama. Karakter ini berbeda dengan Tiongkok yang cenderung lebih agresif. Tetapi dalam situasi seperti saat ini, pemerintah Indonesia memang sebaiknya lebih mengutamakan kehati-hatian dalam memilih mitra bisnis asing.

“Indonesia kini mengalami gejala de-industrialisasi yang cukup mengkhawatirkan. Jika porsi manufaktur terhadap PDB ditahun 2001 masih sebesar 29 persen, maka di tahun 2014 justru mencapai titik terendahnya yaitu sebesar 23 persen. De-industrialisasi ini terjadi sebagai akibat dari gagalnya proses pembangunan infrastruktur penopang Industri,” tukasnya. more on

Sumber: http://maritimenews.id/pengamat-pemerintah-sebaiknya-mengkaji-porto-folio-tiongkok/

Artikel ini telah dibaca 3353 kali. Terima kasih.

Leave a Reply