Artikel ini telah dibaca 4732 kali. Terima kasih.
ANAK kecil ini hebat, namanya Rasyad asal Kuwait, usia 7 tahun, putera tunggal milyuner Kuwait. Saat itu ia terbaring di rumah sakit, 23 hari diopname tanpa di-temani papa mamanya yang kebetulan sibuk dengan pekerjaannya.
Hari ke-23, papa mamanya datang menjenguk dan meminta maaf karena tak sempat mendampinginya. Papa mamanya menghiburnya sambil berkata, “Papa mama sibuk utk mempersiapkan masa depanmu sayang.”
Papa mamanya menunjukkan foto-foto proyek dan rumah yang tengah dibangunnya untuk dirinya kelak, disamping rumah yang tengah di tempatinya sekarang.
Anak ini tersenyum dan bertanya, “Siapa yang bisa menjamin hari esok saya masih hidup, papaku dan mamaku..?
Siapa yang menjamin semua yang papa mama miliki saat ini adalah untukku..?
Dan apa manfaat semua yang papa mama miliki tapi tak ditempati..?”
Anak yang baru sekolah di kelas Madrasah lbtida’iyah ini pun akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan senyuman yang betul-betul “memukul” hati orangtuanya. Apa yang terjadi pada orangtuanya selepas wafatnya ananda tercintanya merupakan kisah yang tak kalah mengharukan.
Setelah anak kecil itu dikuburkan, rumah tangga menjadi senyap, sesekali terdengar isak tangis, tangis kesedihan bercampur penyesalan. Kesedihan mendalam memang seringkali ditandai dengan diam, walau tak jarang juga ditandai dengan teriakan umpatan kesedihan atau jeritan duka.
Hari-hari berlalu dengan evaluasi kehidupan pasangan ini. Sayangnya, evaluasi yang dilakukan bukan didasarkan pada kedewasaan pikir dan ke-matangan emosi.
Si suami menyalahkan si istri yang ikut-ikutan berkarir sehingga melupakan tugas utama seorang ibu yg menjadi “taman surga” bagi anaknya.
Si istri menyalahkan suami yg setiap hari bicaranya hanya soal duit, duit dan duit.
Pertengkaran pun memuncak, si suami menjatuhkan talak satu untuknya.
Si istri menjerit dan membanting semua yang ada di sekitarnya, termasuk foto keluarga yang ada di sampingnya.
Foto itu adalah foto dirinya, suaminya dan anaknya yang sedang tersenyum di suatu taman yang pernah dikunjunginya.
Foto itu baru saja dipasang satu bulan sebelum Rasyad sang anak masuk rumah sakit. Foto itu dilemparkan, kacanya pecah berserakan, sebagian mengenai wajah sang suami. Tak sengaja, di balik foto itu ada tulisan anaknya, berbunyi, “Mama Papa, semoga kita bertiga senantiasa menyatu sampai di akhirat kelak.”
Suami istri ini akhirnya terdiam, lama saling memandang, akhirnya terlarut dalam tangisan jiwa yang mendalam.
Merekapun saling mendekat, kemudian saling merangkul. Suaminya berbisik, “Kita tidak boleh berpisah. Kita harus bersatu selalu, dengan anak kita, sampai ajal menjemput kelak.”
Setelah mereka rujuk, ada perubahan mendasar dalam kehidupan mereka. Perubahan yang secara tiba-tiba karena suatu peristiwa luar biasa yang menyentuh diri sehingga menjadi landasan pacu titik balik kehidupan dalam psikologi disebut dengan epifani.
Konsep kehidupannya yang awalnya adalah kerja, kerja dan kerja berubah menjadi ibadah, ibadah dan kerja.
Sejak saat itu definisi hidupnya berubah dari “having mood” menjadi “being mood”.
Having mood adalah perasaan bangga karena memiliki walau tidak bisa menikmati dan memanfaatkan. Sementara being mood adalah merasa bangga dan bersyukur dengan apa yang dijalani walau tak banyak yang dia miliki.
Orang yang punya 10 mobil tapi yang digunakan hanya satu saja dan merasa nyaman dengan kepemilikan itu padahal tidak digunakannya maka ia terjangkit penyakit “having mood.”
Sementara yang tidak punya mobil, tapi menikmati hari-harinya dengan naik taksi atau mikrolet maka ia tipe orang bahagia dengan “being mood.”
Kita termasuk yang mana?
Orang tua Rasyad ini kemudian mewakafkan beberapa rumah dan cottage yang dimilikinya untuk menjadi madrasah dan pusat kegiatan agama yang diberi nama Rasyad Foundation.
Semoga kita dapat menghargai anak-anak kita sebagai anugerah, menjadi sebaik-baik anugerah.
Aamiin.
Semoga bermanfaat…
Artikel ini telah dibaca 4732 kali. Terima kasih.