Artikel ini telah dibaca 5300 kali. Terima kasih.
Semoga kisah nyata berhajinya orang Jepang ini dapat memotivasi kita yang terlahir sudah dalam kondisi menjadi orang Islam menjadi lebih memahami nilai-nilai keislaman dan dapat mengimplementasikannya dengan sungguh-sungguh dan penuh kesadaran serta niat yang tulus. Aamiin… Selamat membaca…
“Subarashi! Subarashi!” atau “Luar Biasa!”, adalah kata yang berulangkali diucapkan oleh Omar-san, orang Jepang dalam kloter haji kami. Kalimat itu diucapkannya saat melihat Ka’bah dan melakukan gerakan memutarinya selama tujuh kali (thawaf). Bersama dengan Omar-san, ada 10 orang Jepang lain yang ikut berangkat haji tahun ini dari rombongan jamaah haji embarkasi Jepang.
Bagi Omar-san, yang baru memeluk Islam sekitar 3 tahun lalu, ini adalah kali pertamanya ia naik haji. Ia begitu kagum dan terkesima dengan masifnya jumlah jamaah haji dari berbagai penjuru dunia yang datang pada saat bersamaan dan melakukan ritual haji yang sama. Omar-san, yang tidak mau memberitahukan pada saya nama asli Jepangnya, menganggap ada satu kekuatan besar yang mampu membawa berjuta-juta orang tersebut secara sukarela untuk datang ke tanah suci ini. Hal itulah yang membuatnya terpana di depan Ka’bah.
Berangkat haji bersama orang Jepang adalah hal yang menarik bagi saya. Bagaimana tidak, selama tinggal di Jepang, saya jarang melihat orang Jepang yang beragama Islam (ataupun beragama lainnya, seperti Kristen atau Yahudi). Kebanyakan orang Jepang memang tidak memilih satu agama tertentu. Mereka kebanyakan menganut ajaran Shinto yang lebih bersifat budaya ketimbang sebuah agama.
Di sisi praktis sehari-hari, sebenarnya orang Jepang sudah berperilaku lebih dari orang beragama. Mereka sangat santun, sabar, bersih, tekun, disiplin, dan tertib dalam bermasyarakat. Semua ajaran agama yang menganjurkan kebaikan dan perilaku terpuji telah mereka terapkan tanpa harus memeluk suatu agama tertentu. Hal itu bisa dilihat secara nyata dalam kehidupan masyarakat Jepang. Mereka tertib mengantri, berlalu lintas dengan santun, menjaga fasilitas umum tetap rapi dan bersih, membuang sampah di tempatnya, dan saling membantu dengan tulus.
Kisah-kisah pascatsunami dan bencana gempa bumi pada Maret 2011 lalu menjadi sekian banyak contoh tentang tingginya adab dan perilaku masyarakat Jepang. Di negeri yang beragama sekalipun, saat bencana, perilaku yang muncul kadang tidak agamis (menumpuk barang kebutuhan pokok, menjarah, menaikkan harga semena mena, dan saling merugikan sesama). Hal itu tidak terjadi di Jepang saat bencana tsunami lalu.
Agama, memang datang ke dunia untuk memperbaiki akhlak, atau perilaku manusia. Sayapun bertanya pada Omar-san, apabila akhlak di masyarakat sudah baik, masih perlukah orang Jepang memeluk agama.
Menurutnya, Jepang memang sebuah masyarakat yang tertata baik dan aplikatif dari ajaran agama. Namun pada ujungnya, manusia tetap membutuhkan tambatan hati. Sebuah oase tempat mengadu dalam keadaan sendiri, baik suka maupun duka. Sebuah tautan kala sedang dirundung beragam masalah dan tekanan dunia. Tanpa agama, berbagai pelarian dicari oleh orang Jepang untuk mencari ketenangan hati. Jadi, menurut Omar san, orang Jepang masih memerlukan agama.
Hal itulah yang melatarbelakangi Omar-san untuk memeluk agama. Ia mengatakan bahwa setelah beragama, ia menemukan ketenangan hati dan kedamaian jiwa. Meski demikian, banyak orang yang bertanya padanya, tidakkah sulit menjadi Islam di Jepang.
Permasalahan bagi orang Jepang dalam memeluk Islam bukan pada masalah ideologi, namun lebih pada urusan praktikalitas ritual. Menjalankan ibadah sholat sebanyak lima kali sehari, puasa selama sebulan, dan melaksanakan ibadah haji, adalah aktivitas yang sangat sulit dilakukan dalam lingkungan orang Jepang. Bangsa Jepang adalah pekerja keras. Kalau kita bekerja di perusahaan Jepang misalnya, sulit mendapat dispensasi ijin sholat pada waktunya, apalagi cuti melakukan ibadah haji. Nyaris mustahil untuk dikabulkan. Belum lagi soal pilihan makanan halal yang amat jarang didapatkan di Jepang.
Namun berbeda dengan dunia barat yang memiliki prejudice tentang Islam, di Jepang pandangan masyarakat tentang Islam secara umum tidak seburuk di barat. Bagi orang Jepang, agama apa saja dipandang baik, karena ajaran setiap agama adalah mengarah pada kebaikan. Oleh karena itu, Islam lebih gampang diterima banyak orang Jepang.
Omar-san sendiri beruntung. Ia adalah Presiden Direktur (Sachoo) sebuah perusahaan konstruksi yang dimilikinya sendiri. Perusahaannya tergolong besar di daerah Kasugai, Aichi-Ken, di sekitar kota Nagoya. Jadi, ia bisa mengatur masalah praktikalitas ritual agama, termasuk saat ia memutuskan naik haji bersama istrinya, yang juga orang Jepang.
Selain Omar-san, ada dua orang Jepang lainnya yang sering berdiskusi dengan saya saat ibadah haji kemarin. Kebetulan saya tinggal satu tenda dengan mereka, saat di Mina maupun saat wukuf di Arafah. Mereka adalah Saif Takehito dan Muhammad Syarief. Keduanya telah mengganti atau mencampur nama asli Jepangnya dengan nama Islam.
Saif Takehito adalah seorang diplomat Jepang yang bekerja di Kedutaan Besar Jepang di Dubai. Ia jago berbahasa Arab dan ahli membaca Al Qur’an (saya saja sampai minder mendengar ia membaca Qur’an). Sementara Muhammad Syarief adalah seorang wirausaha yang tinggal di Tokyo.
Karakter dan kultur dari orang Jepang yang baik dan santun tersebut, tercermin saat mereka menjalankan ibadah haji. Dalam kondisi apapun, mereka tetap diam dan sabar. Persis saat mereka menghadapi bencana alam bulan Maret lalu.
Tekanan terbesar dari ibadah haji adalah soal kesabaran. Mulai dari kedatangan di Arab, prosesi ibadah, kehidupan sehari-hari, hingga kembali ke Jepang, ujian kesabaran datang silih berganti. Banyak dari kita yang kadang lepas kontrol, lalu marah-marah dan malah beradu mulut dengan jamaah lain. Tapi saya melihat para jamaah haji dari jepang memiliki kesabaran yang tinggi. Padahal mereka dihadapkan pada kondisi yang bertolak belakang dengan keadaan negaranya yang tertib dan teratur.
Suatu malam di Mina, terjadi kekacauan di maktab (kelompok tenda) kami. Saat kembali dari melempar jumrah, tenda rombongan kami dipindahkan pengelola maktab tanpa sepengetahuan kita semua. Akibatnya, barang-barang kami semua tercecer, bahkan ada yang kehilangan peralatan-peralatan personalnya.
Beberapa jamaah haji dari negara lain ada yang marah-marah dan menyalahkan panitia karena tidak menjaga barangnya. Ada yang menuding-nuding panitia, bahkan sampai ingin menuntut ganti rugi. Salah satu jamaah malah hampir beradu mulut dengan saya, karena ia menganggap saya tidak memberi lokasi tempat tidur untuknya. Masya Allah!
Mereka sampai harus ditenangkan oleh kita semua yang ada di tenda, “Sabar haji… Sabar.. Istighfaar.. This is Hajj”. Barulah kemudian mereka mengucapkan istighfar dan meminta maaf pada kita semua karena menimbulkan kekacauan di tenda.
Sementara itu saya melihat Muhammad Syarief kehilangan sleeping bag-nya malam itu. Ia hanya celingak celinguk saat banyak jamaah protes. Tapi ia diam saja tanpa protes dan tidak mengeluh. Padahal kakinya bengkak karena melepuh saat berjalan di Mekah sebelumnya. Ia malah menggelar handuk dan tidur langsung di karpet dalam diam. Simpati jamaah di tenda kami pun diarahkan pada dirinya. Kamipun meminjamkannya sleeping bag, memberinya obat dan makanan, serta menawarkan lokasi tidur yang nyaman. Semua jamaah simpati pada kesantunan orang Jepang ini.
Hal serupa saya perhatikan dari diri Saif Takehito. Suatu malam kita harus menunggu di Arafah hingga menjelang tengah malam. Saat itu ada kecelakaan bis sehingga semua jalan menuju Muzdalifah ditutup. Akibatnya, bis rombongan kita tertunda keberangkatannya ke Muzdalifah. Banyak jamaah di kelompok kami yang beradu mulut dan berdebat. Mereka merasa harus tiba di Muzdalifah sebelum tengah malam dan melakukan sholat dua rakaat, sesuai sunah Nabi. Pimpinan rombongan mengatakan bahwa dalam kondisi darurat, sholat bisa dilaksanakan di Arafah. Tapi banyak jamaah yang tidak terima, perdebatan pun terjadi bahkan cenderung memanas.
Saif Takehito saya lihat hanya duduk saja di bawah pohon sambil berulangkali melafazkan nama-nama Allah (berdzikir). Saat saya tanya bagaimana pendapatnya, Saif berkata banyak hal yang terjadi di luar kehendak manusia, kita sebagai manusia tak bisa berbuat apa. Semua kehendak Allah. Jadi janganlah kita saling berbantahan, kita harus bersabar dan ikuti perintah pimpinan kita. Masya Allah, kita semuapun jadi malu oleh ucapan dari orang Jepang yang notabene baru memeluk Islam tersebut.
Meski orang Jepang dihadapkan pada suasana yang jauh berbeda dengan negerinya, mereka ternyata bisa memahami dan tetap bersikap sabar. Mereka tidak mengeluh dan menyalahkan keadaan. Hal tersebut memberi saya sebuah kesadaran, bahwa keber-agama-an bukan semata soal pengetahuan. Akhlak dan perilaku baik, terbentuk bukan saja dari pengetahuan, tapi lebih pada kebiasaaan.
Orang Jepang sejak kecil sudah dibiasakan dan dididik berbuat baik, sabar, dan memerhatikan kepentingan orang lain. Di sekolah, di rumah, di masyarakat, ajaran dan yang dilihat sama. Sementara banyak orang beragama yang hanya diajarkan dan diminta menghafalkan cara berbuat baik dan sabar.
Itulah sebabnya dulu Nabi senantiasa berkata, “Biasakanlah berbuat baik, biasakanlah berbuat baik…” Bukan menghafal perbuatan baik, tapi membiasakan berbuat baik. Tentu tujuannya agar kita menjadi orang baik, yang sebaik-baiknya.
Source: Kompasiana, Junanto Herdiawan
Artikel ini telah dibaca 5300 kali. Terima kasih.