Artikel ini telah dibaca 3557 kali. Terima kasih.

Surat Warsito Penemu Alat Terapi Kanker (ECCT) untuk Sri Mulyani Menteri Keuangan
Bu Ani Yth:

Karena Ibu menganggap masalah ini serius, saya jadi ingin curhat Bu. Tapi saya ingin mengingatkan Bu, jangan terlalu serius. Bisa-bisa Ibu sakit. Turunnya cuman dikit Bu. Soalnya di sini “mlorot” pun orang gak anggap serius Bu. Ibu kebanyakan kerja di Amerika sih, jadi begitu.

OK, tentang daya saing Bu. Saya kira Ibu check juga bahwa faktor yang menyumbang ranking daya saing Indonesia yang tertinggi ada 3:

  1. Market Size (Ranking 10 Dunia): Karena penduduk kita besar, sudah barang tentu semua orang ingin jual produknya ke kita.
  2. Ekonomi makro (Ranking 30 Dunia): Kalau ini kerjaan Ibu, Ibu yang lebih tahu. Cuman trendnya akhir-akhir ini menurun atau stagnan Bu. Mungkin karena terlalu lama Ibu tinggal ke Amerika.

  3. Inovasi (Ranking 31 Dunia): Kalau ini kerjaan saya Bu. Ibu tahu kita ternyata tak buruk-buruk amat dalam hal inovasi tho. Dan trendnya terus meningkat Bu.

Dan saya kira Ibu sudah lebih faham bahwa daya saing tak mungkin meningkat tanpa inovasi. Tetapi Bu, inovasi tak akan jadi inovasi beneran kalau tak bisa masuk pasar. Pasar kita sangat-sangat besar makanya rankingnya tinggi, tetapi bukan produk-produk inovasi kita yang bisa masuk pasar kita sendiri Bu. Sayang kan.

Permasalahannya pasar perlu standar dan sangat regulated, apalagi kalau pasar kita sudah tersambung dengan pasar global. Itu yang belum mampu dipenuhi oleh produk-produk inovasi kita Bu. Tetapi yang namanya standar dan regulasi itu kita yang buat tho, bukan Oom Sam? Lha wong pasar-pasar kita sendiri, terus yang beli juga kita-kita sendiri. Yang pastinya Ibu yang buat lah.

Kita setuju Bu, untuk masuk pasar perlu memenuhi standar kualitas dan keamanan tertentu, apalagi produk yang berkaitan dengan kesehatan. Eh, maaf Bu menyinggung sedikit tentang kesehatan ya. Sektor kesehatan adalah salah satu pasar yang paling besar di dalam negeri, tetapi juga pasar yang paling tertutup bagi produk inovasi dalam negeri Bu; hanya sekitar 1% untuk obat (90% obat impor, 10% yang diproduksi dalam negeri 90% bahan bakunya impor), dan kurang dari 0.3 % utk alkes.

Sayang ya Bu, pasar yang besar bukan kita sendiri yang punya. Padahal di bidang inovasi kita gak bodho-bodho amat toh.

Kembali ke standar dan regulasi pasar Bu. Produk-produk inovasi kita jelas tak bisa siap begitu saja masuk pasar. Tetapi kalau tak bisa masuk pasar, selamanya daya saing kita tak akan meningkat tho Bu. Persoalannya di situ. Untuk memenuhi standar pasar perlu dibuatkan “jembatan” Bu. Buatkanlah dulu pasar yang terbatas dengan jumlah penggunaan terbatas, beri pengawasan dan pembinaan. Naikkan standarnya dengan diberi akses pasar yang lebih luas, begitu seterusnya lama kelamaan bisa lah memenuhi standar, baik pasar nasional maupun global.

Saya ambil contoh mobil listrik oleh teman inovator seperjuangan saya, nasibnya tragis Bu, saya aja alhamdulillah nasibnya agak lebih baik. Jelas, mobil buatannya belum layak jalan bebas di jalan-raya, standar kualitas dan keamanannya jelas belum memenuhi syarat. Tapi yang jelas bisa jalan tho Bu. “Ngusruk” dikit sih. Cuman maksud saya, okelah belum memenuhi standar jalan raya, tapi mbok ya dikasih akses untuk bisa dipakai di kalangan tertentu yang terbatas, misalnya di dalam komplek atau lapangan golf, kasih speed limit misalnya 20km/jam, kalau pun “ngusruk” nggak akan benjot tho. Kemudian kasih tetangga-tetangganya boleh beli; dengan begitu dia bisa punya uang untuk membuat yang lebih baik. Kalau itu dilakukan terus menerus saya yakin suatu ketika dia bisa bikin mobil listrik sehebat punya Elon Mask. Tapi ya kalau ujug-ujug dibilang tak memenuhi standar “uji emisi”, yo langsung mati tho. UJI EMISI, buat mobil listrik lho Bu. Saya kira Tesla bisa nangis di dalam kubur, ternyata rumus induksi medan listrikmagnet yang dia temukan terbukti salah di Indonesia. Tragis kan Bu. Nasibnya lebih tragis lagi Bu. Kasihan lah Bu nasib inovator-inovator seperti dia. Kalau tak dikasih akses pasar meskipun terbatas sehingga dia punya uang untuk buat lebih baik karena orang boleh beli inovasi dia, ya jelas mati lah Bu. Mosok jalan punya kita-kita sendiri, cuman mobil Jepang saja yang boleh lewat.

Oh, iya, saya juga punya pengalaman pribadi Bu, buat inovasi-inovasian, yaitu medan listrik untuk membuat sel kanker mati dengan sendirinya. Medan listriknya pakai batere kecil AA dua biji saja Bu. Tetapi hasil “pengadilan” dimasukkan ke dalam Kategori Kelas 3, dianggap berisiko tinggi atau berbahaya; itu kategori yang setara dengan alat yang mengandung radiasi nuklir Bu. Yaellaah Bu….batere AA bisa membahayakan apa coba? Kalau ini bukan Tesla saja yang menangis, Maxwell dan Schrodinger bisa ikutan nangis juga, karena ternyata medan listrik tenaga batere AA di Indonesia bisa mengahasilkan energi setara radiasi nuklir. Maaf, Bu, Ibu gak kenal dengan nama-nama ini ya? Itu setara dengan Adam Smith atau John Mainard Keynes kalau di ekonomi Bu.

Tapi yang namanya riset dan inovasi harus dijalani terus tho Bu. Kalau nggak daya saing kita tak bisa naik. Maaf, Bu, kalau ikutan pusing jangan balik lagi ke Amerika ya, nanti saya jadi ikutan balik.
https://www.facebook.com/sobatcd/posts/1238107179587070

Artikel ini telah dibaca 3557 kali. Terima kasih.

Leave a Reply