Artikel ini telah dibaca 574 kali. Terima kasih.
Sebuah unggahan di media sosial Twitter soal strategi melawan Covid-19 viral.
Twit tersebut dibuat oleh @drpriono pada Kamis (18/6/2020). Dalam twit tersebut disebutkan bahwa strategi melawan Covid-19 oleh Gugus Tugas adalah 20 persen menggunakan medis dan 80 persen psikologis.
Psikologis yaitu dengan menjaga stamina, tidak panik, gembira, gizi, istirahat, dan olahraga.
Selain itu menggunakan telemedicine, dengan tujuan yang sehat tetap sehat, yang kurang sehat jadi sehat, dan yang sakit diobati sampai sembuh.
Lalu yang dimaksud dengan medis adalah dengan peningkatan kapasitas SDM, tenaga kesehatan, alat material kesehatan, dan relawan.
Strategi yang dilakukan adalah testing, tracing, dan isolation.
Hingga Jumat (19/6/2020), twit tersebut telah disukai lebih dari 2.000 kali dan dibagikan ulang lebih dari 1.200 kali.
Berikut ini narasinya:
Strategi melawan Covid19, ternyata menggunakan 80 persen psikologi yg dianggap meningkatkan imunitas dst. 20% Medis, bukan public health. Pantesan Ambyar
Konfirmasi Kompas.com
Sementara itu Kompas.com mencoba menghubungi Pandu Riono terkait unggahan tersebut. Meskipun mengaku tidak mengingat sumber unggahan tersebut, namun menurut Pandu hal itu dikeluarkan oleh BNPB.
“Tapi itu ada logo BNPB,” kata dia.
Dihubungi terpisah, jubir Pemerintah Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menolak menanggapi dan memberikan keterangan terkait ungahan itu.
“Saya gak komentar,” ujarnya pada Kompas.com, Jumat (19/6/2020).
Pendekatan test, trace, isolate, dan treat
Epidemiolog UGM Dr Bayu Satria Wiratama menanggapi soal strategi gugus tugas itu. Apabila strategi hal itu masih dijalankan, pihaknya mengaku tidak sepakat.
“Kalau dari saya pribadi dan mungkin banyak orang juga tidak setuju dengan strategi penanganan Covid-19 yang dikeluarkan gugas pusat,” katanya pada Kompas.com, Jumat (19/6/2020).
Dia melanjutkan, menurutnya pendekatan epidemiologi untuk menangani pandemi dapat dilakukan dengan test, trace, isolate, dan treat dan seharusnya mendapat porsi lebih besar.
Mengenai tes-nya, Bayu mengungkapkan batasan WHO adalah minimal 1 tes per 1000 populasi per minggu.
Lalu trace adalah penelusuran kontak dari orang yang positif Covid-19. Sehingga infeksi virus corona tidak banyak menyebar.
Menurut Bayu, sisi psikologis memang diperlukan tapi bukan porsi utama. Menurut dia, wabah berkepanjangan pasti berdampak ke psikologis kepada nakes dan non nakes. Sementara itu penanganan psikologis sebenarnya juga bagian dari medis.
Bayu menyebut, penanganan Covid-19 yang kurang tepat bisa menyebabkan suatu negara kewalahan menghadapi virus ini. Dia mencontohkan, Amerika Serikat dan Brasil termasuk negara yang kewalahan.
Namun negara-negara itu tidak terang-terangan seperti Indonesia yang mengatakan penanganan Covid-19 menggunakan psikologis sebanyak 80 persen.
Beda dampak dan strategi
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyebut, terkait strategi pemerintah tersebut, pihaknya pernah mendengar sekitar bulan Maret lalu.
Namun pihaknya tidak mengetahui apakah strategi tersebut masih dilakukan pemerintah hingga saat ini atau tidak.
“Hanya waktu saya tahu itu, sempat saya kritik dan pertanyakan dasar ilmiahnya apa,” ujar Dicky saat dihubungi Kompas.com.
Berbeda dengan bagan strategi melawan Covid-19, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut, persoalan Covid-19, 20 persen merupakan persoalan kesehatan, sedangkan 80 persen lainnya merupakan persoalan psikologi.
“Kalau masyarakat tidak bisa menjaga psikologi mereka sendiri, ada kecenderungan imunitas menurun, yang menyebabkan orang terkena Covid-19 dan menjadi lemah,” ujar Moeldoko dikutip dari Antara (29/4/2020).
Mengenai pernyataan Moeldoko, Dicky mengatakan, hal itu bisa terjadi dalam situasi pandemi.
Sebab kaitannya dengan merespons dampak psikologis. Akibat situasi pandemi misalnya, berdampak pada anak dan tingkat perceraian seperti ada di sejumlah negara.
“Sedangkan untuk strategi pengendalian pandemi tidak bisa denga pendekatan psikologis dan tidak ada dasarnya,” jelas dia.
Pengendalian pandemi menurut Dicky, bukan dengan meningkatkan kesehatan mental. Namun lebih pada dampak.
“Kalau menurunkan atau mengendalikan pandemi harus dengan testing tracing isolasi dan treatmen, dan mengubah perilaku masyarakat. Itu yang harus diluruskan,” jelas dia.
Artikel ini telah dibaca 574 kali. Terima kasih.