Artikel ini telah dibaca 565 kali. Terima kasih.
Hari ini, 36 tahun yang lalu, tepatnya 3 Februari 1984, Dr. John Buster dan tim penelitinya di Harbor UCLA Medical Center mengumumkan kelahiran pertama bayi dari hasil proses fertilisasi yang dikenal sebagai transfer embrio.
Melansir NBC, proses ini melibatkan pengambilan sel telur yang dibuahi dari rahim seorang perempuan dan menanamkannya dalam rahim wanita kedua untuk menciptakan kehamilan.
Teknik ini juga sering digunakan dan berhubungan dengan proses fertilisasi in vitro (IVF).
Proses ini memberikan harapan kepada banyak wanita yang tidak dapat menghasilkan sel telurnya sendiri ataupun yang memiliki masalah genetik.
Kelahiran Bayi Pertama
Bayi pertama yang lahir dan hidup sebagai hasil transfer embrio tersebut berjenis kelamin laki-laki.
“Ia (bayi laki-laki) ini sangat ganteng,” kata ketua tim yang menangani proses fertilisasi transfer embrio ini, Dr. John E. Buster dari University of California di Los Angeles School of Medicine.
Mengutip New York Times, Buster menggambarkan teknik pemindahan embrio dari bayi ini.
Sebelumnya, teknik tersebut hanya dipakai pada ternak.
Proses fertilisasi transfer embrio tidak memerlukan pembedahan, pembiusan, ataupun uji tabung.
Laporan terkait kelahiran dan proses fertilisasi ini juga ditulis dan muncul dalam The Journal of American Medical Association.
Prosedur
Dalam prosedur dari proses fertilisasi ini, embrio yang baru mulai berkembang dipindahkan dari satu wanita yang telah diberikan benih melalui inseminasi buatan kepada wanita lain yang akan melahirkan bayi tersebut 38 minggu kemudian.
Sperma yang digunakan dalam inseminasi buatan berasal dari suami wanita yang akan melahirkan bayi tersebut.
Dr. Buster mengatakan bahwa teknik ini berbeda dengan fertilisasi “tabung reaksi”, yang melibatkan pembedahan untuk mengangkat sel telur yang tidak dibuahi dari seorang wanita, pembuahan sel telur menggunakan peralatan laboratorium, dan implantasi sel telur yang dibuahi ke dalam rahim.
Untuk menjalankan skema fertilisasi transfer embrio, siklus hormon pendonor dan penerima telur harus cocok.
Lima hari setelah donor diberikan inseminasi buatan, jika embrio sehat, embrio tersebut akan segera dimasukkan ke dalam rahim penerima.
Kemungkinan, embrio hanya terdiri dari 8 hingga 10 sel dan tidak dapat dilihat menggunakan mata telanjang.
Pendonor dan penerima tersebut juga dicocokkan dengan golongan darah, faktor Rh, hingga warna rambut dan mata.
Teknik ini harus terbukti diinginkan oleh wanita yang memiliki gangguan pada ovariumnya.
Selama pasangan kemudian bersedia menerima sel telur yang disumbangkan, teknik ini pun akan dapat dilakukan.
Perencanaan
Fertility and Genetics Research Inc., sebuah perusahaan yang berbasis di Chicago dan membantu pengembangan teknik ini, mengumumkan rencananya mendirikan basis komputer nasional untuk mengelola persediaan sel telur yang telah dibuahi.
Mereka juga mengajukan paten pada instrumen-instrumen yang digunakan dalam proses transfer embrio manusia ini.
Usulan ini kemudian ditolak oleh Ketua Foundation for Economic Trends di Washington, Jeremy Rifkin.
Rifkin mengungkapkan bahwa teknik-teknik ini mengurangi proses reproduksi manusia menjadi produk komersil yang diperjualbelikan di pasaran.
Saat itu, ia merencanakan gugatan di pengadilan terkait rencana paten tersebut.
Namun, Buster mengatakan, ibu penerima donor, yaitu seorang wanita berusia 30an, tidak kecewa dengan masalah-masalah seperti itu.
Sebelumnya, wanita ini memiliki sejarah infertilitas selama 8 tahun lamanya.
“Dia sangat senang dan memiliki bayi yang sangat cantik,” kata Buster.
Hingga diumumkannya kelahiran bayi pertama hasil transfer embrio tersebut, tim peneliti telah mencoba 46 transfer dan dua di antaranya berhasil.
Wanita kedua yang tengah hamil dari teknik ini disebut akan segera melahirkan.
“Kami sangat bangga,” ujar Buster dan tim peneliti saat itu.
Artikel ini telah dibaca 565 kali. Terima kasih.